Oleh : Agung Setiawan
Pemuda hari ini, yang bergabung dalam berbagai organisasi, secara suasana kebatinan sudah tentu berbeda dengan pemuda abad 20. Perbedaan yang paling mencolok adalah, soal bagaimana mengekspresikan pemikiran kritis dan kreatifnya dalam menyoal beragam persoalan di negeri ini.
Pemuda tempo dulu, punya semangat berkobar memperjuangkan idealismenya. Bahkan berani mengorbankan apa saja, termasuk nyawa, untuk sesuatu yang mereka yakini benar. Pendek kata, mereka amat sangat ideologis.
Pada masa itu, kecanggihan media dan teknologi komunikasi belum secanggih jaman kiwari. Untuk menulis gagasan, mereka harus tulis tangan. Beda sekali dengan kids jaman now, yang untuk menulis semudah buah ingus. Tapi sejarah membuktikan, mereka telah mendobrak keterbatasan.
Sumpah Pemuda, 27-28 Oktober 1928, adalah monumen abadi yang selalu kita peringati. Mereka meyakini, gerakan ke arah yang lebih baik harus tetap dilakukan. Bangsa ini harus merdeka. Meskipun taruhannya, nyawa.
Lalu bagaimana dengan semangat pemuda hari ini dalam memperjuangkan idealismenya?. Saya akan coba uraikan, semoga tak keliru. Andai keliru, angap saja saya tidak pernah menulis apapun.
Pemuda hari ini punya semangat berorganisasi. Di sosial media kita bisa lihat, bagaimana mereka mengisahkan apa yang telah dilakukan di dunia nyata. Meskipun begitu, banyak kegiatan mereka masih minim substansi. Acaranya masih terjebak pada seremoni- seremoni yang kadang, maaf, unfaedah sama sekali.
Bahkan pemuda sudah mulai kehilangan sense of crisis. Mereka tenang-tenang saja saat Sumber Saya Alam digaruk oleh bangsa lain. Saat hutan di babat dan tanah petani dirampas, mereka juga diam. Begitu juga saat sistem ekonomi amat neolib, pemuda anteng-anteng aja.
Padahal, neoliberalisme adalah bentuk baru dari imperialisme. Dia tidak kalah bengis dan kejam. Dulu penjajah membawa bedil dan bubuk mesiu. Berani melawan, bisa langsung di tembak. Penjajah jaman now, bawa duit tanpa seri. Berani melawan, kita bisa langsung dibeli.
Kaum imperial jaman kiwari beraksi melalui lajur ekonomi. Di era reformasi misalnya, lembaga-lembaga Bretton Wood, IMF dan World Bank menjebak kita dengan paket kebijakan ekonomi neolib. Dan pintarnya, politikus kita oke-oke saja.
Sekarang saat poros ekonomi dunia bergeser ke Cina, kita juga menggeser kiblat ekonomi. Membuka investasi dari tirau bambu seluas-luasnya atas nama pembangunan insfratruktur. Di investasi, adalah kata lain dari di jajah. Karena yang kaya, bukan republik Indonesia. Tapi republik Cina.
Dan hari ini, di era generasi millenial, yang berkarakter ambius, memiliki kecerdasan, dan penguasaan atas ilmu pengetahuan juga teknologi, apa idealisme kita untuk bangsa. Kita tentu tidak perlu memanggul senjata, mengasah parang atau meruncingkan hulu tombak. Karena itu gaya jaman dahulu. Tapi yang harus kita lakukan hari ini adalah siapa yang menindas kita, dan strategi apa yang tepat dan sesuai zaman.
Saya tidak menggebyah -uyah semua pemuda hari ini kehilangan idealismenya. Tentu masih ada yang sadar dan rela berjuang. Jumlahnya banyak. Tapi yang tidak peduli, jauh lebih banyak.
Jakarta, 30 Oktober 2017
Research and Development Committee
Koperasi Pemuda Indonesia 2017-2020
Agung Setiawan
Pada masa itu, kecanggihan media dan teknologi komunikasi belum secanggih jaman kiwari. Untuk menulis gagasan, mereka harus tulis tangan. Beda sekali dengan kids jaman now, yang untuk menulis semudah buah ingus. Tapi sejarah membuktikan, mereka telah mendobrak keterbatasan.
Sumpah Pemuda, 27-28 Oktober 1928, adalah monumen abadi yang selalu kita peringati. Mereka meyakini, gerakan ke arah yang lebih baik harus tetap dilakukan. Bangsa ini harus merdeka. Meskipun taruhannya, nyawa.
Lalu bagaimana dengan semangat pemuda hari ini dalam memperjuangkan idealismenya?. Saya akan coba uraikan, semoga tak keliru. Andai keliru, angap saja saya tidak pernah menulis apapun.
Pemuda hari ini punya semangat berorganisasi. Di sosial media kita bisa lihat, bagaimana mereka mengisahkan apa yang telah dilakukan di dunia nyata. Meskipun begitu, banyak kegiatan mereka masih minim substansi. Acaranya masih terjebak pada seremoni- seremoni yang kadang, maaf, unfaedah sama sekali.
Bahkan pemuda sudah mulai kehilangan sense of crisis. Mereka tenang-tenang saja saat Sumber Saya Alam digaruk oleh bangsa lain. Saat hutan di babat dan tanah petani dirampas, mereka juga diam. Begitu juga saat sistem ekonomi amat neolib, pemuda anteng-anteng aja.
Padahal, neoliberalisme adalah bentuk baru dari imperialisme. Dia tidak kalah bengis dan kejam. Dulu penjajah membawa bedil dan bubuk mesiu. Berani melawan, bisa langsung di tembak. Penjajah jaman now, bawa duit tanpa seri. Berani melawan, kita bisa langsung dibeli.
Kaum imperial jaman kiwari beraksi melalui lajur ekonomi. Di era reformasi misalnya, lembaga-lembaga Bretton Wood, IMF dan World Bank menjebak kita dengan paket kebijakan ekonomi neolib. Dan pintarnya, politikus kita oke-oke saja.
Sekarang saat poros ekonomi dunia bergeser ke Cina, kita juga menggeser kiblat ekonomi. Membuka investasi dari tirau bambu seluas-luasnya atas nama pembangunan insfratruktur. Di investasi, adalah kata lain dari di jajah. Karena yang kaya, bukan republik Indonesia. Tapi republik Cina.
Dan hari ini, di era generasi millenial, yang berkarakter ambius, memiliki kecerdasan, dan penguasaan atas ilmu pengetahuan juga teknologi, apa idealisme kita untuk bangsa. Kita tentu tidak perlu memanggul senjata, mengasah parang atau meruncingkan hulu tombak. Karena itu gaya jaman dahulu. Tapi yang harus kita lakukan hari ini adalah siapa yang menindas kita, dan strategi apa yang tepat dan sesuai zaman.
Saya tidak menggebyah -uyah semua pemuda hari ini kehilangan idealismenya. Tentu masih ada yang sadar dan rela berjuang. Jumlahnya banyak. Tapi yang tidak peduli, jauh lebih banyak.
Jakarta, 30 Oktober 2017
Research and Development Committee
Koperasi Pemuda Indonesia 2017-2020
Agung Setiawan
Comments