Mengenal Fenomena Gentrifikasi
Alternatif Milenial
Bisa Punya Rumah
Oleh : Agung Setiawan, HC
Bisa punya rumah sendiri adalah hal yang diinginkan
oleh semua orang termasuk kaum milenial.
Menabung adalah salah satu cara yang dapat dilakukan agar dapat memenuhi
keinginan sekaligus kebutuhan tersebut. Namun, harga rumah hari ini selalu
mengalami peningkatan yang cukup tinggi, hal ini terjadi karena adanya inflasi
khususnya inflasi properti, tanah/lahan yang semakin “langka”, penduduk terus
bertambah, permainan “investor” dan perkembangan kelas menengah.
Tanah/lahan yang semakin “langka”, permainan “investor”
dan perkembangan kelas menengah adalah sebuah fenomena yang disebut
“gentrifikasi/gentrification”.
Gentrifikasi adalah proses mengubah karakter lingkungan melalui masuknya
penduduk dan bisnis yang lebih makmur. Istilah gentrifikasi ini muncul dan mengacu
pada multi-fenomena yang dapat di definisikan dengan berbagai cara yang
berbeda. Jika kita menelisik lebih dalam lagi tentang gentrifikasi kita akan
menemukan bahwa gentrifikasi adalah proses kompleks yang melibatkan perbaikan
fisik persediaan perumahan, perubahan kepemilikan perumahan dari sewa menjadi
kepemilikan, kenaikan harga dan perpindahan atau penggantian populasi kelas
pekerja oleh kelas menengah baru.
Sejarawan mengatakan bahwa gentrifikasi mulai terjadi di Roma kuno dan di Britania Romawi, di mana vila-vila besar menggantikan toko-toko kecil pada abad ke-3, Masehi. Kata gentrifikasi berasal dari kata bangsawan — yang berasal dari kata Perancis Kuno “genterise of gentle birth" (abad ke-14) dan "people of gentle birth" (abad ke-16). Di Inggris, tuan tanah menunjukkan kelas sosial, yang terdiri dari pria (dan wanita terhormat, sebutan mereka pada waktu itu). Sosiolog Inggris Ruth Glass adalah yang pertama kali menggunakan "gentrifikasi" dalam pengertiannya saat ini. Dia menggunakannya pada tahun 1964 untuk menggambarkan masuknya orang-orang kelas menengah yang menggusur penduduk pekerja kelas bawah di lingkungan perkotaan; contohnya adalah London, dan distrik kelas pekerja seperti Islington.
Bisa kita bayangkan pada kondisi sekarang bahwa berkaca dari sejarah tersebut kita bisa lihat keadaan kota-kota besar di Indonesia juga mengalami hal yang serupa meski tak sama. Tanah dan rumah yang dimiliki oleh penduduk asli yang lahir dari kota-kota besar tersebut mulai berpindah kepemilikannya, yang penyebabnya karena berdatangannya masyarakat kelas menengah ke atas yang menyebabkan meningkatkan gaya hidup sekaligus daya beli wilayah yang dijajaki. fenomena ini bisa kita lihat dengan bergantinya rumah-rumah penduduk yang berganti dengan gedung-gedung megah dan hunian yang mewah. Penduduk asli seakan tergusur secara tidak resmi, digantikan oleh pendatang dari kalangan kelas atas dan menengah.
Proses gentrifikasi biasanya merupakan hasil dari meningkatnya
daya tarik ke suatu daerah oleh orang-orang dengan pendapatan lebih tinggi yang
tersebar dari kota, kota kecil, atau lingkungan sekitarnya. Salah satu
ciri-cirinya adalah meningkatnya investasi dalam kelompok/komunitas “Investor” untuk
berinvestasi pada infrastruktur terkait oleh bisnis pengembangan real estat, pembangunan
oleh pemerintah daerah, atau aktivitas komunitas yang menghasilkan pembangunan
ekonomi, peningkatan daya tarik bisnis, dan peningkatan keamanan sehingga tingkat
kejahatan menjadi lebih rendah. Selain dilihat dari manfaatnya tersebut, gentrifikasi
menyebabkan migrasi dan perpindahan penduduk atau dalam tanda kutip “Tergusur”
secara tidak resmi yang menghantui masyarakat asli suatu daerah. Hal inilah
yang membuat beberapa orang memandang ini sebagai sebuah ketakutan/kekhawatiran
akan fenomena tersebut, yang mendominasi perdebatan tentang gentrifikasi,
sebagai penghalang diskusi tentang pendekatan progresif sejati untuk
mendistribusikan manfaat dari strategi pembangunan kembali perkotaan.
Pertanyaannya adalah ke mana perginya masyarakat yang
“tergusur” ? jawabannya untuk mereka yang beruntung akan memiliki tempat baru
dengan mengalami fenomena gentrifikasi juga pada suatu wilayah yang di anggap
berpotensi. Namun, bagi mereka yang tidak beruntung maka akan kehilangan tempat
tinggalnya menjadi “homeless”. Kemampuan
beradaptasi pada kenaikan daya beli serta gaya hidup menjadi kunci bagi
penduduk yang bisa mempertahankan kepemilikan atas lahannya.
Kembali lagi kepada kondisi para milenial hari ini bisa dipastikan hampir semuanya menginginkan
memiliki hunian yang berada di pusat kota yang memiliki fasilitas dan akses yang
lengkap, namun dengan realitas yang ada membuat milenial harus berpikir ulang kembali bukan? milinial yang menginginkan untuk memiliki rumah pasti memikirkan
alternatif – alternatif untuk memiliki hunian layak yang kriteria minimalnya adalah
dekat dengan kota-kota besar tersebut terlepas dari keinginan memiliki hunian
di tengah kota yang sekarang sudah dikuasai oleh masyarakat kelas atas. Salah satu
alternatifnya adalah memiliki hunian terjangkau di daerah penyangga. Hal tersebut
yang menjadi fokus milenial hari ini
dengan memikirkan strategi untuk mencapainya. Jika dengan pendekatan biasa milenial yang akan memiliki hunian
tersebut juga masih sedikit jumlahnya hal itu dikarenakan minimnya lapangan
pekerjaan yang “tersedia” yang rata-rata gajinya bisa digunakan untuk membeli
rumah itu pun dengan cara KPR (kredit pemilikan rumah).
Maka ada beberapa pendekatan khusus yang milenial bisa lakukan agar juga bisa
memiliki hunian. Pendekatan pertama adalah dengan membentuk comunity land trust. Community land trust
(CLT) adalah perusahaan nirlaba yang memegang tanah atas nama komunitas
berbasis tempat, sekaligus melayani sebagai pengurus jangka panjang untuk
perumahan yang terjangkau, taman komunitas, gedung sipil, ruang komersial dan
aset komunitas lainnya atas nama sebuah komunitas. CLT menyeimbangkan kebutuhan
individu yang menginginkan jaminan kepemilikan dalam menempati dan menggunakan
tanah dan perumahan, dengan kebutuhan masyarakat sekitar, berjuang untuk mengamankan
berbagai tujuan sosial seperti menjaga keterjangkauan harga perumahan lokal,
mencegah perpindahan penduduk yang rentan, dan mempromosikan inklusi ekonomi
dan ras. Di seluruh dunia, ada keragaman yang sangat besar di antara CLT dalam
cara kepemilikan, penggunaan, dan pengoperasian properti nyata dan cara CLT itu
sendiri dipandu dan diatur oleh orang-orang yang tinggal di dalam dan di
sekitar tanah CLT.
Kemudian melakukan Co-Housing
yang bisa merujuk kedua hal pertama collective
housing dan collaborative housing
sebuah cara membangun perumahan dengan konsep swadaya melalui cara crowdfunding. Konsep ini berkembang menyeluruh
di seluruh dunia dan kebanyakan menggunakan konsep koperasi di dalam
pelaksanaannya walaupun tidak semua menggunakan koperasi. Konsep ini juga telah
diterapkan di Indonesia yang di jalankan oleh DFhousing. Konsep ini menawarkan
pengembangan perumahan yang berorientasi pada pemanfaatan lahan secara bersama
yang dibangun secara gotong-royong secara terbuka dan dikembangkan juga secara
bersama sesuai kebutuhan dari mereka yang tinggal dalam lingkungan yang sama
tersebut. Konsep ini juga melahirkan sisi efisiensi sehingga berpotensi untuk
menurunkan harga perumahan yang semakin hari semakin tinggi. Kemudian jika kita
menelisik lebih dalam konsep ini Co-Housing
sangat memungkinkan dilaksanakan dengan koperasi karena dalam koperasi terdapat
prinsip “cooperation amoung cooperative”
dengan menempatkan koperasi sektor keuangan seperti Bank Cooperative, Credit Union, dan Koperasi Simpan Pinjam (KSP) sebagai
pihak yang menjadi tempat bagi anggota koperasi yang ingin membeli rumah agar
dapat mencicil ataupun mengangsur dari kebutuhan yang harus dipenuhi oleh si
anggota koperasi untuk mendapatkan rumah/hunian dalam lahan bersama yang
menjadi milik suatu koperasi.
Yang terakhir adalah mengakses perumahan bersubsidi yang
disediakan oleh pemerintah lewat BUMN seperti Perum Perumnas (Perumahan
Nasional) pemerintah lewat BUMN tersebut ingin memberikan bantuan kepada
masyarakat yang ingin memiliki hunian dengan harga yang terjangkau.
So, begitulah alternatif yang milenial bisa lakukan untuk akhirnya bisa memiliki hunian karena
sesungguhnya hunian/rumah adalah kebutuhan dasar bagi manusia untuk hidup dan
merupakan hak asasi. Karena ini merupakan hak asasi hal ini diperjuangkan dan cakupannya
mencapai wilayah di seluruh dunia untuk lebih jelasnya hal tersebut dapat disaksikan
dan dipelajari dalam Film Dokumenter berjudul “PUSH”.
Bekasi,
2 Maret 2021
Agung
Setiawan, HC
Comments